Aku memulai cerita ini dengan perasaan yang campur aduk. Bahagia, sedih, kecewa, senang, cinta, kekaguman, dan masih banyak lagi. Tidak ada yang sepenuhnya menggambarkan isi hatiku. Aku telah mengulang perpindahanku. 2013 lalu adalah awal dan aku pernah terjebak dalam skenario Tuhan yang berbeda hingga saat ini aku memilih kembali dan lebih mendekat lagi.
Sejak beberapa kehilangan kualami, aku telah benar-benar kehilangan diriku yang utuh. Aku hanya mengenal kesedihan dan banyak penyesalan. Dan saat ini aku telah memilih pulang, dengan tanpa wajah yang utuh. Aku adalah kehinaan yang memilih membebaskan diri daripadanya. Tuhan bukanlah pilihan.
Allah, Tuhanku. Dia yang menuntunku. Ketika aku salah, Dia langsung menegurku. Dia mengirimkan aku banyak guru kehidupan. Kehilangan (lagi) salah satunya.
Setelah aku hijrah kemudian pergi mencari diriku yang lain, aku jatuh dan berdiri. Ditopang oleh seseorang yang bersamanya aku kembali membangun mimpi-mimpiku. Kemudian Allah-ku cemburu dan melepaskan ikatan kami. Kami tidak jadi mewujudkan mimpi itu. Aku yang saat itu hanya bisa menangis kemudian Dia tak pernah melepaskan pelukannya di tubuhku lebih dalam lagi di hatiku. Dia masih terus bersamaku setelah sebuah kepergian cinta yang tentu kutahu tidak pernah kekal.
"Allah-ku hanya ingin aku hidup bersama cinta-Nya dan cinta yang direstui oleh-Nya. Siapapun itu. Dia ingin membahagiakanku dengan cara paling indah. Aku tahu itu. Dia begitu mencintaiku. Allah-ku sangat mencintaiku."
Waktu berlalu, aku telah lama memiliki keinginan menutup diri dari mata banyak orang. Hingga suatu ketika hatiku begitu kuat untuk bercadar. Berat, sangat berat. Puluhan pasang mata menatapku aneh. Bahkan kawan, guru, dan kedua orang tuaku. Dan aku meyakini mereka bahwa aku baik-baik saja. Bercadar bukan sebuah momok yang menakutkan. Lagi, aku ingin mempersembahkan surgaku bagi orang-orang terkasih dalam kehidupanku.
Perjalanan pilu lainnya adalah ketika menyadari banyak orang tua yang memiliki putera dan berat mengadopsi menantu seorang perempuan bercadar. Entah apa yang menjadi dasar, dan penolakan pertama semakin memperkuat penolakan kedua. Ini ujian. Allah-ku tidak pernah meninggalkanku. Setiap kali aku merasa begitu sedih dan sendiri, Dia selalu saja tahu cara membuatku tersenyum. Dia tidak ingin aku jatuh lagi ke dalam keadaan yang membuat-Nya cemburu, keadaan yang salah. Dia menuntunku.
Aku memiliki mimpi yang sedang kupendam saat ini. Cukuplah menjadi rahasia Allah-ku, dan aku menikmati cinta-Nya tanpa harus aku merasa bersedih berkepanjangan. Aku bersyukur, Allah-ku membawaku pada titik ini dan memperkenalkanku pada dunia dan seseorang yang baru dalam kehidupanku. Dia seperti diperintahkan Allah untuk membuatku semangat.
"Semoga istiqomah ya Lia."
Terima kasih, Kak.
Allah, aku mencintai-Mu. Tetaplah cintai aku dan berada tepat di hatiku. Cinta-Mu adaah detak jantung dan aliran darahku. Aku mencintai-Mu.