Jumat, 30 Desember 2016

Tentang Aku yang Baru Bercadar

Aku ingin bercerita tentang aku yang baru bercadar. Aku bercadar masih belum lama. Sekitar satu bulan, itu pun masih sesekali melepasnya. Aku ingin istiqomah menjalankannya. Sampai pada titik ini sangat tidak mudah. Terlalu banyak halangan di dalamnya. Salah satu keputusan terberat yang harus saya ambil di tengah sinisnya lingkungan terhadap perempuan bercadar.

Tidak sedikit orang-orang di sekitar aku yang kontra dengan keputusan besar ini. Mereka berkata bahwa bercadarlah jika kelak punya suami dan suami mengizinkan. Sementara keinginan atas menutup diri pun tidak terbendung. Terlebih semakin banyak hal yang mendesak hatiku untuk menutup diri dari apapun. Aku masih belajar, sebab aku adalah perempuan yang sangat dhoif. Aku ingin lebih baik, namun terkadang aku lupa tentang banyak hal. Bercadar adalah caraku untuk bisa menyatakan cinta KepadaNya dan KekasihNya. Bercadar adalah caraku memuliakan ayah dan mama yang sangat aku kasihi.

Oh iya, di sini aku akan bercerita tentang orang-orang yang dijadikan Allah SWT perantara untukku bercadar.

1. Habib Umar Bin Hafizh dan Hubabah Nur 
Dalam diri beliau aku bisa melihat cinta yang mendalam kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Entah bagaimana, aku adalah manusia yang tidak akan luput dari dosa. Tapi setiap kali melihat beliau, aku hanya ingin menjadi perempuan yang lebih baik dan mulia. Beliau selalu mengajarkan cinta. Aku mengidolakan Sayyidah Khadijah Binti Khuwailid dan Sayyidah Fatimah Binti Rasulullah SAW sekalipun aku adalah perempuan yang tidak ada seujung kuku pun seperti yang aku idolakan. Melalui Habib Umar Bin Hafizh, aku dikenalkan oleh wanita yang pertama kali aku melihatnya, aku sangat jatuh cinta. Hubabah Nur, wanita mulia yang tidak lain adalah istri dari beliau. Melihat senyuman Hubabah, aku ingin menjadi lebih baik dari aku yang terdahulu. Beliau adalah salah satu perantara dari Allah untukku menutup diri. Beliau adalah kemuliaan yang Allah turunkan ke bumi sebagai penebar cinta kepada Allah, kepada Rasulullah SAW.

2. Ayu
Ayu adalah seorang gadis kecil. Dia adalah satu dari sekian jamaah di tempatku menuntut ilmu, Majelis Ta'lim Wal Aurod Az-Zahro. Dia adalah satu perantara yang juga menguatkan tekadku bercadar, saat pertama kali aku lihat dia duduk di majelis dengan cadar. Aku bertanya pada guruku, Syarifah Hayfa Alatas tentang Ayu. Setelah mendengar cerita tentang Ayu, aku berpikir keras tentang cadar. Dia selalu tersenyum ke arahku dengan tatapan yang manis. Aku malu ketika seorang anak yang seusia dengan siswiku di SMP, tapi mengambil jalan yang tidak terpikirkan oleh anak-anak seusianya, bahkan orang-orang seusiaku. Jawabannya hanya satu, "Ayu ingin mama masuk surga. Ayu tidak ingin mama masuk neraka." Semakin melihatnya semakin kuat keinginanku untuk menjadi seperti anak itu.

3. Halim Ghani
Halim Ghani, aku pernah bercerita tentangnya dan tentang kekagumanku terhadapnya. Terlepas dari rasa kagum, dia adalah satu dari sekian guru kehidupanku. Aku tidak mengenalnya, sama sekali. Aku hanya tahu Halim melalui media sosial. Selebihnya aku tidak tahu apa-apa. Halim adalah satu perantara Allah untukku bercadar. Dari tulisan-tulisannya, saya percaya bahwa dia adalah lelaki yang mamou memuliakan perempuan. Tidak sedikit postingannya yang menggambarkan tentang perempuan-perempuan shalihah, yang menutup diri dari apapun, kecuali suaminya. Dia menceritakan tentang kebahagiaan seorang suami yang memiliki istri yang mampu menjaga dirinya. Sungguh, di mataku Halim adalah lelaki terhormat. Sebab itu, aku ingin belajar menjadi perempuan terhormat yang mampu menjaga kehormatanku di hadapan siapapun.

4. Hubabah Halimah Alaydrus
Aku mencintai beliau. Awalku mengenal beliau adalah dari tulisan di beberapa buku, hingga pada 25 Desember 2016 kemarin aku bisa bertemu dan mencium tangan beliau secara langsung. Betapa kebahagiaan menyelimuti hatiku. Beliau bercerita tentang kemuliaan Rasulullah SAW, yang di tengah hikayah tersebut air mataku jatuh dengan sendirinya. Aku semakin mencintai Hubabah Halimah. Beliau mengajarkanku mencintai Rasulullah SAW melalui kemuliaan-kemuliaan yang beliau kisahkan. Aku ingin belajar menjadi lebih baik atas cintaku pada beliau.


Dari perantara-perantara tersebut, aku masih memiliki satu kebodohan. Aku memilih menutup diri dengan cadar, tapi masih befoto dan tidak menghargai cadarku sebagai satir agar siapapun tidak melihatku. Allah menegurku dengan keras malam ini. Semoga Allah mengampuni segala kekeliruanku. Aku hanya hamba Allah yang lemah, yang ingin mencintaiNya. 

Aku masih belajar, dan aku ingin terus belajar. Allah, aku mencintaiMu!



Salam,

S.N.R

Selasa, 27 Desember 2016

Bolehkah Aku Menangis?

Bolehkah aku menangis?

Sekuat apapun, aku adalah perempuan yang bisa menangis. Aku bisa menangis sebab terluka, bersedih, terharu, bahagia, atau bagaimanapun keadaan yang akan membuat semua perempuan menangis. Aku bukan patung atau batu yang hanya akan diam saja tanpa reaksi. Walaupun aku ingin menjadi seseorang yang tidak peduli pada keadaan. 

Tapi aku adalah seorang perempuan. Sekalipun aku tertawa, terlihat kuat, tapi aku juga bisa menangis. Dengan atau tanpa siapapun yang menyaksikan. Bukankah tangisan tidak pernah membutuhkan saksi? 

Aku yakin, bahwa air mata bukan hanya pertanda sebuah kelemahan. Tapi kekuatan yang memiliki batas dan batas itu sudah tidak sanggup lagi membendungnya.

Jadi, bolehkah aku menangis? Biarkan aku menangis dan semesta meninggalkanku seorang diri. Kadang hanya tangisan yang mampu memahami bahwa tidak semua jenis perasaan bisa diungkapkan dengan kata dan tawa. 

Aku tidak sedang mengemis, atau menangisi takdir. Hanya kadang ada beberapa keadaann yang sulit diterima. Dan aku menangis dengan cinta dalam dada.

Biarkan aku menangis.


Salam sayang,
S.N.R

Kamis, 22 Desember 2016

Pada Kenyataannya

Hari ini seseorang telah berkata padaku, "Kita tidak pernah tahu jodoh kita, kita hanya tahu bahwa kita selalu menginginkan seseorang menjadi jodoh kita."

Pada kenyataannya seperti itu. Dasarnya adalah keinginan. Tapi terkadang realita tidak berkata demikian. Saya dan seseorang itu mengalaminya. Dia pernah menginginkan seseorang yang dicintainya menjadi jodohnya, dan saya pun menginginkan seseorang yang saya cintai menjadi jodoh saya. Ah, berbicara dengannya selalu saja membuat saya menangis.

Dia berkata, "Siapapun harus bahagia, bersama atau terpisah dari seorang yang dicintainya."

Pada kenyataanya, saya tidak akan bisa hidup dengannya dan saya harus bahagia. Dia juga.