Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh..
"Dia adalah seorang yang saya sebut Ayah..."
Kenal sebutan ini? Tentu kita semua kenal, bahkan tak asing lagi. Ayah, Bapak, Papa, Abi, Papi, Pipi, Didi, Dady, Father, dan sebagainya. Kita tahu, kita kenal bahkan sangat melekat dalam kehidupan kita. Ayah, begitu pula saya menyebut sosok itu. Bagi saya, ayah bukan hanya sekedar pelengkap dalam hidup, bukan hanya sekedar wali saat saya menikah, tapi lebih dari itu. Ayah adalah bagian dari jiwa saya yang takkan ada penggantinya. Ayah, begitu saya memanggilnya.
Ayah itu berwatak keras, arogan, ambisius, tegas, galak, terkadang menyebalkan, suka mengatur "jangan ini jangan itu", dan saya suka kesal karena selalu saja diatur. Tapi sadarkah? Dibalik sikap menyebalkannya ayah, dia menyimpan cinta untuk puteri kecilnya dengan sangan rapi, besar, dan hati-hati. Entah, Allah membuat hatinya itu dari apa. dibalik kerasnya, prinsipnya, ayah memiliki hati yang begitu lembut.
Teringat sewaktu saya kecil, ketika saya tertidur di rumah nenek, ayah dengan sangat lembut dan hati-hati menggendong, memapah saya untuk pulang ke rumah tanpa membangunkan. Ketika saya kecil, saya selalu dibawanya berpergian, dia menuntun saya dengan sangat erat, tak membiarkan puteri kecilnya bersentuhan dengan bahaya. Ketika saya mulai bosan, saya menuntut pulang. Ayah selalu bertanya, "Ia mau naik apa? Metromini apa angkot nak?" dan saya selalu menggelengkan kepala lalu lantas ayah menggendong tubuh kecil saya untuk pulang ke rumah dan berjalan kaki.
Ketika ayah pulang kerja, saya sudah tidur dan ayah selalu bertanya pada mama, "Ia mana? Ayah belum ketemu sama anakku yang satu itu." dan entah, saya selalu mendengar kalimat itu. Ayah selalu bilang belajar yang serius, betul-betul belajarnya, jangan pacaran, sukses dulu, dan selalu mengemukakan ambisinya kepada anak-anaknya. Jujur, saya jenuh mendengarnya. Tapi tahukah? Bahwa selalu ada kerinduan di hati mendengar kata-kata ayah yang sangat sering cerewet.
Ketika saya melakukan sebuah kesalahan. Ayah akan marah-marah. Namun, ada satu waktu tiba-tiba dia diam. Dan itu adalah kesedihan untuk saya. Ketika saya mulai beranjak remaja, Saya selalu pura-pura tidur di kamar. Dan ayah selalu berkata, "Anakku sudah besar.". Itu yang selalu ayah katakan. Dan saya hanya pura-pura tidak mendengar dengan mata terpejam.
Waktu semakin berlalu. Saya semakin tumbuh menjadi remaja. Namun ayah masih memperlakukan saya sebagai puteri kecilnya. "Ia jangan pacaran." dan saya baru mengerti, dibalik kalimat itu memiliki makna, (puteri kecilku yang manis, ayah hanya tak rela kau tersakiti oleh orang yang tidak baik, kau adalah harta ayah, maka ayah hanya ingin menjagamu sampai saat yang tepat). Itu yang saya lihat dari matanya.
Ketika sedang berhadapan dengan Allah, saya ingat ayah, saya menangis. Entah, saya tidak mampu mengukur sayangnya ayah pada puteri kecilnya. Karena sampai kapanpun, saya adalah puteri kecil ayah.
Saya hanya ingin menjadi puteri kecil ayah yanng terbaik. Allah begitu sempurna menciptakan segala sesuatu, atas segala sesuatu. Rahasia dibalik rahasia. Ayah bukan seseorang yang sempurna. Tak sehebat Rasulullah SAW dan para Sahabat. Tidak secerdas para ulama. Tapi, dia adalah ayah yang terhebat yang saya miliki. Karunia Allah saya temukan dalam dirinya. Seorang pria yang sudah tak lagi muda, dengan tatap mata tak lagi berbinar, yang tak lagi kuat memapah saya kemanapun, yang hanya bisa berdo'a untuk kebahagiaan saya, yang hanya bisa mengkhawatirkan keadaan saya lewat pesan singkat, yang selalu berkata, "Ia sudah dewasa kan? Jadi, ayah ndak perlu lagi marah-marah sama anak ayah yang sudah besar." dan saya berfikir.
Bagaimana bisa saya membenci laki-laki itu ketika dia mencintai saya lebih dari hidupnya sendiri. Saya tak pernah melihat dia menangis. Dia terlalu gengsi untuk itu. Hanya saya melihat matanya sudah mulai lelah. Dia ayah yang selalu membuat saya mengeluh, namun dia ayah yang paling saya kasihi. Di dalam arogan sikapnya, dia lebih lembut dari kapas, kerut wajahnya jelas menggambarkan hidupnya untuk saya dan keluarga, ambisinya jelas, dan larangannya selalu membuat pertanyaan yang pada akhirnya dijawab Allah.
Rindu. Mungkin itu kata yang tepat saat ini. Kembali melalui masa kecil yang keras namun penuh kasih, kenangan yang takkan bisa dibeli. bersama laki-laki pilihan Allah yang saya panggil, Ayah. Lewat sikap yang tak pernah bisa diduga, dia menangis dan berdo'a untuk bahagia puteri kecilnya.
Renungan untuk kita para puteri kecil ayah :
1. Pernah kita cium pipi ayah ketika hendak berpergian?
2. Pernah kita tidak menggerutu ketika ayah melarang kita atas sesuatu?
3. Pernah kita mendo'akan ayah?
4. Pernah kita sadar, bahwa ayah tidak setegap dulu, namun kita selalu saja menuntut tanpa mau mengerti?
5. Pernahkah sekali saja kita berkata, Aku Sayang Ayah?
Wassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh..